Dec 15, 2009

Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid: Lokomotif di Timur

Ta’limnya mulai bersinar di Sulawesi Selatan. Ia mengimbau para pendakwah lain agar masuk ke Makassar.

Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid adalah figur yang sudah tidak asing lagi di Sulawesi Selatan, khususnya kota Makassar. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa Habib Mahmud adalah perintis dan lokomotif acara haul dan Maulid di Bumi Karebosi serta dakwah mahabbah kepada Rasulullah dengan berbagai variasinya. “Dakwah yang ikhlas akan selalu ditolong oleh Allah, dan kita yakin bahwa dakwah ini akan semakin meluas dan dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan,” tuturnya mantap.
Bagi masyarakat Sulawesi Selatan sendiri, acara seperti haul, pembacaan Maulid, tabligh akbar, dan taushiyah masih belum dicintai sebagaimana muhibbin di Jawa. Tapi melihat berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Habib Mahmud, yang dari waktu ke waktu mendapat simpati luar biasa, ke depan dakwah mahabbah Rasulullah SAW ini insya Allah akan semakin mendapat tempat di Bumi Anging Mamiri. “Kita benar-benar memulainya dari nol, jatuh bangun, dihujat, dianggap bid’ah, dijauhi…. Tapi karena landasannya ikhlas dan cinta kepada Rasulullah, sekarang semakin banyak jama’ah yang ikut,” kata Habib Mahmud.
Ia merasa iri dengan kondisi di Jawa, yang menurutnya para habib dan ulama menumpuk, muhibbin tidak perlu dicari, dan kalau ada acara seperti haul dan pembacaan Maulid cukup dengan informasi seadanya sudah dihadiri begitu banyak orang.
“Dulu, di Makassar ini, kita sudah mengajak, mengumumkan di berbagai media dan mempublikasikan dengan biaya yang tidak sedikit, tapi masih kesulitan.” Namun tak dapat diingkari bahwa dari waktu ke waktu antusiasme masyarakat semakin tinggi, dan jumlah jama’ah ta’lim semakin meningkat.
Habib Mahmud tidak berlebihan, jama’ah Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak, yang dipimpinnya, sekarang ada ribuan. Ketika diadakan acara haul akbar pada 17 Januari 2009 yang lalu bertempat di Gedung Manunggal Jenderal Muhammad Yusuf, kota Makassar, puluhan ribu jama’ah hadir dan larut dalam doa dan dzikir.
Hampir semua pejabat, petinggi, dan tokoh politik Sulawesi Selatan hadir. “Saya berharap, semakin banyak majelis ta’lim dan Maulid berdiri, sehingga syiar dan gemuruh dakwah di sini semakin terpancar dan umat Islam semakin yakin dan bangga dengan ajarannya dan selalu meneladani Rasulullah dalam kehidupan dan aktivitasnya,” ujar Habib Mahmud.
Perlu dicatat, Al Mubarak adalah satu-satunya majelis ta’lim di kota Makassar.
Aktivis yang Dinamis
Lahir dan dibesarkan di kota Makassar 42 tahun yang lalu, Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid memulai pendidikannya di sekolah Arab, di samping itu ia juga belajar di sekolah umum di pagi hari. Ibtidaiyah sampai aliyah diikutinya dengan tekun.
Selesai sekolah menengah, ia masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan meraih gelar sarjana ekonomi.
Semasa di kampus, Habib Mahmud termasuk aktivis yang giat menimba ilmu dari berbagai organisasi kampus. Ia pernah menjadi ketua badko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), aktif di senat dan berbagai organisasi keagamaan.
Dari bekal aktif inilah Habib Mahmud mendapatkan begitu banyak pelajaran, terutama dalam mengelola massa yang kini jadi bekal utama ketika ia harus mengelola jama’ah dalam jumlah puluhan ribu. Prinsipnya adalah selalu belajar. “Saya tidak pernah bosan untuk belajar. Di mana saja saya berusaha untuk belajar. Bertemu dengan para habib saya belajar, bertemu dengan ulama saya belajar,” ujarnya penuh semangat.
Di rumahnya pun, kompleks Unhas lama, Panampu, kota Makassar, abah dan uminya memberikan pelajaran agama yang cukup kepada anak-anaknya. Abahnya, Habib Umar bin Abdullah Al-Hamid, di samping seorang pedagang, juga mempunyai ilmu agama yang cukup. “Abah saya itu setiap tiga hari khatam Al-Quran, itu kebiasaan yang dijaganya secara istiqamah sampai wafatnya tahun 1999,” ujar Habib Mahmud mengenang. Keuletan dan kegigihan menjadi sikap yang diikutinya dari orangtua.
Setelah selesai dari fakultas ekonomi, Habib Mahmud terjun di dunia bisnis sehingga mengharuskan ia mondar-mandir Makassar-Jakarta. Dalam rentang waktu inilah ia menemukan jodoh seorang wanita asal Solo dan mereka menikah tahun 1993, kini dikaruniai enam anak.
Kegigihannya belajar dari berbagai ulama dan habaib memberikannya bekal untuk juga menularkan kepada orang lain. Sekitar tahun 2001, Habib Mahmud memutuskan untuk memfokuskan diri berdakwah, dengan mendirikan Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak. “Awalnya yang mengaji itu dua-tiga orang,” kenangnya. Lalu dia memulai acara pembacaan Maulid. Yang dibaca pun tidak tetap, kadang kitab Barzanji, karena orang Makassar banyak yang gandrung Barzanji. Lalu ia juga membacakan Simthud Durrar, juga Ad Diba’i. “Dengan berbagai variasi itu masyarakat tidak bosan, dan mulai tertarik,” ujarnya penuh semangat.
Alhamdulillah, dari waktu ke waktu yang ikut majelis ta’lim pun semakin banyak dan hampir setiap hari ada kegiatan ta’lim. Di samping itu kegiatan Al Mubarak pun semakin beragam. Tidak hanya ta’lim dan dzikir, tapi juga mulai menyantuni anak yatim, menjadi pengelola ‘Idul Qurban, dan berbagai kegiatan lainnya. “Masyarakat semakin percaya dengan kita, kemarin kita diamanahi 40 ekor sapi untuk dipotong, yang kemudian dibagikan kepada yang berhak. Padahal dulu ketika awal-awal berdiri hanya satu-dua ekor kambing,” kata Habib Mahmud.
Dakwah yang Asyik
Ada ramuan dakwah yang cukup mengena yang dilontarkan oleh Habib Mahmud, yaitu dakwah yang asyik. Artinya, dakwah itu benar-benar disenangi dan diminati oleh masyarakat, tidak membuat mereka gerah dan takut. Dan menurutnya itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah.
“Berbicara tentang manhaj dakwah tidak terlepas dari koridor yang telah dituntunkan dan dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Yaitu, kelembutan jadi pijakan utama, tapi sikap keras juga perlu. Itu yang telah Rasulullah lakukan, dan hasilnya sungguh sangat menakjubkan. Jadi, berdakwah itu, teladan utamanya adalah Rasulullah. Karena beliaulah uswah hasanah umat Islam,” tutur Habib Mahmud.
“Dakwah perlu persuasi, karena dakwah mempunyai tujuan, yaitu menarik hati orang. Mereka memerlukan cahaya dan ingin keluar dari kegelapan dengan cara bertaubat. Dalam dakwah, amar ma’ruf nahi munkar adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisah, harus menghalau yang bathil dan mengajak kepada kebaikan.”
Jadi, menurut Habib Mahmud, tidak boleh seorang pendakwah hanya memilih yang oke-oke saja tapi ketika berhadapan dengan kemunkaran terdiam. Keduanya harus dilakukan dengan serius, dan tidak pandang bulu.
“Di samping itu berdakwah juga harus diikuti bil hal, bukan hanya lisan. Ada yang konkret dirasakan umat, seperti yang dilakukan oleh Habib Idrus Al-Jufri. Kalau mau turun berdakwah, Habib Idrus membawa sembako, sarung, dan kebutuhan konkret lainnya untuk masyarakat, sehingga obyek dakwah merasa asyik.
Sebelum berdakwah, kita bersosialisasi dengan masyarakat, tatap muka dan sambung rasa. Setelah itu kita memberikan taushiyah. Hal itu lebih kena dan lebih asyik, jadi ada mahabbah,” ujarnya.
Hal itu pula yang dilakukan oleh Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak, yang sudah berlangsung tujuh tahun. Setiap tahun diadakan tabligh dan haul akbar pada bulan Muharram, lalu bulan Rabi’ul Awwal ada Maulid Akbar dan khataman Al-Quran, setiap malam Jum’at membaca Maulid dan taushiyah, lalu malam Sabtu silaturahim dan Ahad pagi khusus taushiyah dari jam 07.00 sampai 09.00 WITA. Untuk mempererat persaudaraan, sebulan sekali diadakan pengajian akbar dari masjid ke masjid, yang dilaksanakan sehabis isya.
Kuncinya, menurut Habib Mahmud, adalah istiqamah dan ikhlas, benar-benar ikhlas dalam mensyiarkan dan membela agama Allah. “Dengan niat karena Allah, empat malaikat, yaitu Izrail, Israfil, Mikail, dan Jibril, akan selalu menjaga kita.” Menurutnya, dakwah seperti ini pula yang dianjurkan oleh Habib Umar bin Hafidz, salah satu tokoh yang sering jadi rujukan Habib Mahmud dan pernah beberapa kali mampir ke Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak. “Beberapa tahun yang lalu saya bersilaturahim ke Darul Musthafa dan mendapatkan banyak pelajaran dari Habib Umar bin Hafidz, alhamdulillah beliau termasuk yang sering mendoakan agar dakwah di Sulawesi Selatan semakin berkembang luas dan semarak,” tutur Habib Mahmud.
Keras, bukan Kasar
Habib Mahmud juga ketua umum Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan. Ia sangat menyayangkan banyak umat Islam termakan citra negatif yang dibangun media cetak dan elektronik tentang FPI. Menurutnya, citra itu dikembangkan oleh mereka yang tidak ingin agama Islam jaya. “Sedikit saja hal keras yang dilakukan oleh FPI, diekspos besar-besaran, ditanamkan citra bahwa ini gerakan anarkis, gerakan kasar.” Padahal, menurut Habib Mahmud, begitu banyak kerja sosial tanpa lelah yang dilakukan FPI tapi tidak pernah diekspos.
“Ketika tsunami di Aceh, FPI, tanpa alat pelindung, tanpa gembar-gembor, mengurus puluhan ribu jenazah, tidak ada yang mengekspos. Kalau kita kerja sosial, menyantuni anak yatim, tidak ada yang mengekspos, dan memang tujuan kita bukan itu. Tapi kenapa sedikit saja kita melakukan kekerasan, lalu ribut di mana-mana, padahal kita bekerja prosedural, kita kirim surat sampai empat kali, kita kirim juga ke pihak berwenang. Kita tidak pernah kasar. Tapi kalau menyangkut aqidah, kita harus keras dan tegas,” katanya.
Citra yang terus-menerus ditanamkan oleh pihak yang tidak senang dengan Islam itulah yang akhirnya melekat di benak publik. “Sesuatu yang diembuskan terus-menerus akhirnya menjadi semacam kebenaran,” ujarnya prihatin.
Tapi, menurut Habib Mahmud, orang yang tidak menyetujui dakwah lahir dan bathin itu harus dihadapi dengan tenang, jangan dihadapi dengan emosional.
“Ada tempat saya berdakwah yang setiap hari terjadi pertempuran, saling memanah dengan panah beracun, semua dosa besar ada, perjudian, pelacuran, dan pembunuhan…. Saya masuk ke sana, tentu tidak langsung, harus berceramah, tapi mengadakan pendekatan dulu, saling berinteraksi. Kadang saya memberi mereka sarung, memberi kopiah, memberi baju, dan lama-kelamaan menjadi akrab. Kita harus bersahabat dengan mereka, baru kemudian menyampaikan pesan kita. Orang di sini adalah orang-orang yang keras…,” tuturnya.
Menurut Habib Mahmud, metode dakwah di Sulawesi Selatan belum seperti di Jawa, yang sudah berlangsung dengan berbagai macam cara. “Kalau di Jawa habaib dan ulama melimpah, tapi di sini jumlahnya hanya sedikit. Tidak banyak orang tertarik untuk terjun dakwah ke sini, padahal Habib Umar bin Hafidz sudah memerintahkan muridnya agar terjun ke Sulawesi Selatan. Kita harus masuk ke kampung-kampung, karena kita berdakwah prioritasnya ke orang yang tidak paham. Jadi program Habib Umar bin Hafidz, yang terjun ke medan-medan berat, mudah-mudahan diikuti oleh anak muridnya. Anak muridnya harus menyebar ke mana-mana, jangan pilih-pilih medan dakwah,” ujarnya.
Perbedaan cabang atau furuk di tubuh umat Islam, menurut Habib Mahmud, adalah hal yang biasa. Tapi kalau sudah menyangkut aqidah, menurutnya, itu adalah harga mati. “Kelompok seperti Jaringan Islam Liberal, Ahmadiyah, kelompok Lia Eden, sudah tidak bisa lagi diberi toleransi, karena itu menyangkut penyimpangan aqidah. Mereka ini sudah mengobok-obok Islam, sudah menghina Islam, tidak ada toleransi untuk mereka.
Dakwah yang baik harus sesuai dengan niat yang ikhlas semata-mata karena Allah, jangan ada misi lain. Kalau kita istiqamah dan yakin, Allah akan selalu menolong kita. Lihatlah nama-nama besar yang ikhlas dan istiqamah dalam dakwah, mereka diberi keberkahan dan ditolong oleh Allah. Kalau tidak ikhlas, akan hancur…,” ujar Habib Mahmud mengingatkan.
“Saya mencontoh dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, juga dakwah Habib Umar bin Hafidz dan Habib Muhammad Almaliki. Untuk apa kita berdakwah dengan jumlah ratusan ribu jama’ah tapi akhlaq tidak terjaga, jangan sampai jatuh pada akhlaq tercela. Banyak belum tentu jaminan. Untuk apa jumlah yang besar tapi tidak berkah?” katanya retoris.
Menurut Habib Mahmud, banyak contoh teladan yang bisa diambil dari para ulama dan habaib terdahulu. “Misalnya saja dari Habib Abu Bakar bin Salim, yang bisa khatam Al-Quran enam kali sehari, lalu shalat malam seribu rakaat. Dan setiap hari memotong enam ekor unta untuk para peziarah. Jadi, keberkahan dan keahlian itu muncul dari amalan. Kalau hanya bil lisan, penjual obat malah lebih pintar berceramah. Banyak orang retorikanya bagus tapi tidak ada berkahnya,” ujar Habib Mahmud.
Ia mengisahkan, suatu kali Habib Abdul Kadir Assegaf diundang oleh sebuah panitia untuk bertemu di Madinah. Seluruh ulama besar dunia hadir, semuanya sudah berbicara sesuai dengan keahliannya. Lalu ketika tiba giliran Habib Abdul Kadir, ia bilang kepada panitia bahwa sudah cukup yang berbicara, jadi ia tak perlu lagi.
Namun panitia mendesaknya. Akhirnya ia berpidato dengan hanya membaca doa Qunut, tapi efeknya sungguh luar biasa. Semua yang hadir menangis.
Kenapa mereka menangis? Karena wibawa dan pancaran hatinya yang tulus. Apa yang diucapkan oleh mereka yang tulus ikhlas dan hatinya bersih, efeknya sungguh berbeda. Oleh sebab itu, Habib Mahmud berpesan, “Jaga akhlaq, bersihkan hati, benahi ibadah, dan jangan pernah berdusta.”
Ia melanjutkan, “Mereka yang disebut wali Allah itu adalah mereka yang istiqamah melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menghindari apa yang dilarang Allah, bukan mereka yang pandai berjalan di atas air atau terbang seperti burung. Bukan itu. Mereka beriman secara kaffah, sinkron antara kata dan perbuatan.”
Dana dari Allah
Banyak orang yang ragu ketika terjun penuh ke medan dakwah, bagaimana dengan nafkah mereka, bagaimana dengan ongkos operasional dakwah, dan banyak kekhawatiran lainnya. Menurut Habib Mahmud, semua kegiatan memang perlu dana, begitu juga dakwah. Tapi jangan sampai hal itu jadi beban. “Dunia itu jangan ditaruh di kepala, tapi taruh di bawah telapak kaki. Kalau kita berdakwah ikhlas karena Allah, mencontoh Rasulullah dan istiqamah, insya Allah kita akan selalu ditolong oleh Allah dan akan diberi jalan keluar dari arah yang tidak terduga-duga. Itu tauhid, harus haqqul yakin, malaikat akan datang, Allah akan memberi kekuatan. Jangan pernah ragu akan hal itu,” ujarnya memotivasi.
Ia mencontohkan kegiatan yang dilakukan oleh Al Mubarak. Kalau ia berpikir ala ilmu ekonomi, tidak akan pernah terlaksana berbagai acara yang berskala akbar itu, apalagi harus mengundang berbagai pihak dari luar. Tapi Habib Mahmud yakin, Allah akan menolong dan menyediakan dana, Allah akan mencukupi, karena Allah Mahakaya. Dan begitulah selalu setiap acara, apakah haul akbar, tabligh akbar, santunan sosial, ‘Idul Qurban, semuanya alhamdulillah berjalan lancar.
“Saya tidak pernah merisaukan dana. Kalau saya berpikir terlalu ruwet, acaranya tidak akan berjalan. Selalu ada pertolongan dan jalan keluar. Itu saya alami selama mengadakan acara untuk dakwah, seperti haul, tabligh akbar, khataman Al-Quran, ‘Idul Qurban, santunan anak yatim. Ikhlas karena Allah, dan Allah akan menyelesaikan semuanya. Apa yang tidak bisa kalau Allah berkehendak?” ujarnya mantap.
Menyinggung isu Palestina, Habib Mahmud prihatin dengan apa yang terjadi di sana, ribuan orang tidak berdosa menjadi korban kebiadaban Israel. Ia mendoakan, semoga mereka menjadi syahid di sisi Allah.
Menurutnya, kita memang harus peduli dengan nasib saudara-saudara kita di Palestina. Namun, kita juga harus introspeksi, demi meningkatkan kualitas iman dan taqwa. “Dari miliaran umat Islam ini, berapa persen yang istiqamah menjaga shalat fardhunya? Demikian banyak umat Islam yang tidak pernah shalat Subuh. Begitu banyak umat Islam tapi begitu banyak pula yang belum bersungguh-sungguh berislam,” ujarnya prihatin.
Terakhir, tentang obsesinya, ke depannya Habib Mahmud ingin mengembangkan Al Mubarak lebih luas lagi. “Kita akan membentuk yayasan nanti, lalu akan kita bangun pesantren khusus anak yatim, akan dibangun zawiyah. Begitu juga nanti ke depan ada media cetak dan media elektronik. Kita akan datangkan orang-orang ahli tamatan Yaman dan Makkah untuk mengelola itu semua, nanti kita lengkapi dengan bidang usaha, toko, biro haji, produk-produk keislaman. Kita sudah mulai kini dengan beberapa anak yatim dan dhuafa’ yang dibina dan dipelihara, kita harapkan doa dari umat Islam, doa dari ulama dan habaib. Semoga berkah, insya Allah,” ujar Habib Mahmud penuh semangat. IMR





No comments:

Post a Comment